1. Renaissance
Renaissance berasal dari bahasa Prancis, Renascari yaitu
kelahiran kembali kebudayaan klasik dari jaman Romawi dan Yunani kuno yang
meliputi kesusasteraan, seni dan ilmu pengetahuan. Gerakan ini dipelopori
oleh Dante Aligheiri, Petrarca dan Boccacio.
Timbulnya gerakan ini disebabkan oleh :
1.
Terjadinya pertumbuhan perdagangan di
kota Venesia, Florence dan Genoa (Italia)
2.
Adanya puing-puing bangunan lama yang
megah dan mengagumkan di kota Roma dan kota-kota lainnya
3.
Perkembangan ekonomi Italia lebih maju
dari Negara Eropa lainnya
4.
Bangsawan Italia tidak tinggal di
pedalaman tapi di kota-kota
5.
Penjelajahan samudera dan Penemuan
daerah baru
Awal abad ke 16 bangsa Portugis,
Spanyol, Inggris dan Negara Eropa lainnya mengadakan penjelajahan samudera
karena didorong oleh faktor-faktor :
1. Tahun 1453 kota Konstantinopel jatuh
ke tangan Turki yang mengakibatkan harga rempah-rempah menjadi sangat
mahal
2. Berkembangnya Ilmu pengetahuan tentang bumi dan ilmu astronomi dan penemuan kompas
3. Timbulnya keinginan untuk mencari keuntungan yang besar dan upaya untuk mencari daerah baru
4. Ingin menyebarkan agama Kristen ke seluruh dunia
5. Adanya Penemuan baru di bidang ilmu Pengetahuan, antara lain :
2. Berkembangnya Ilmu pengetahuan tentang bumi dan ilmu astronomi dan penemuan kompas
3. Timbulnya keinginan untuk mencari keuntungan yang besar dan upaya untuk mencari daerah baru
4. Ingin menyebarkan agama Kristen ke seluruh dunia
5. Adanya Penemuan baru di bidang ilmu Pengetahuan, antara lain :
·
Johan Guttenberg menemukan mesin cetak
·
Nicolaus Copernicus menemukan matahari
sebagai pusat tata surya
·
Galileo galilei menemukan teleskop
·
Marthin Luther pencetus agama
kristen Protestan
6. Dominasi gereja katolik terhadap
segala aspek kehidupan
3. Perkembangan Kolonialisme dan
Imperialisme di Indonesia
A. MASUKNYA KOLONIALISME DAN
IMPERIALISME KE INDONESIA
1. MASA KEKUASAAN VOC
Usaha bangsa Barat untuk mendapatkan benua baru
dipelopori oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang ingin mendapatkan
rempah-rempah. Bartholomeus Dias (1492) dan Vasco daGama (1498) berkebangsaan
Portugis berlayar menyusuri pantai barat Benua Afrika akhirnya tiba di Kalkuta,
India. Kemudian mereka membangun kantor dagang di Kalkuta dan berdagang di Asia
Tenggara. Pada tahun 1512, Portugis masuk ke Maluku sedangkan Spanyol masuk ke
Tidore (1521) untuk mencari rempah-rempah.
Pada tahun 1596,
pedagang Belanda dengan empat buah kapal di bawah Cornelis de Houtman berlabuh
di Banten. Mereka mencari rempah-rempah di sana dan daerah sekitarnya untuk
diperdagangkan di Eropa. Namun, karena kekerasan dan kurang menghormati rakyat
maka diusir dari Banten. Kemudian pada tahun 1598, pedagang Belanda datang kembali ke Indonesia di bawah
Van Verre dengan delapan kapal dipimpin Van Neck, Jacob van Heemkerckdatang
di Banten dan diterima Sultan Banten Abdulmufakir dengan baik. Sejak saat
itulah ada hubungan perdagangan dengan pihak Belanda sehingga berkembang
pesat perdagangan Belanda di Indonesia.
Namun, tujuan dagang tersebut kemudian
berubah. Belanda ingin berkuasa sebagai penjajah yang kejam dan
sewenang-wenang, melakukan monopoli perdagangan, imperialisme ekonomi, dan
perluasan kekuasaan.
Setelah bangsa Belanda berhasil menanamkan kekuasaan
perdagangan dan ekonomi di Indonesia maka pada tanggal 20 Maret 1602Belanda membentuk kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)yang dianjurkan oleh Johan van Olden Barnevelt yang mendapat izin dan hak istimewa dari Raja Belanda.
Alasan pendirian VOC adalah adanya persaingan di antara pedagang
Belandasendiri, adanya ancaman dari komisi dagang lain, seperti (EIC) Inggris,
dan dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Untuk mendapatkan
keleluasaan usaha di Indonesia, VOC memiliki hak oktroi,
yaitu hak istimewa.
Di samping itu, VOC juga melakukan pelayaran Hongi, yakni misi pelayaran Belanda yang ditugasi
mengawasi, menangkap, dan mengambil tindakan terhadap para pedagang dan
penduduk pribumi yang dianggapnya melanggar ketentuan perdagangan Belanda.
Usaha VOC semakin berkembang pesat (1623) dan berhasil menguasai rempah-rempah
di Ambon dalam peristiwa Ambon Massacre. Selanjutnya tahun 1641, VOC berhasil
merebut Malaka dari tangan Portugis. VOC selalu menggunakan Batigslot Politiek (politik
mencari untung, 1602 – 1799) dengan memegang monopoli Belanda di Indonesia.
Selain itu, VOC menjalankan politik devide et impera, yakni sistem pemecah belah di antara rakyat Indonesia.
Perjalanan kongsi dagang VOC lama kelamaan mengalami
kemunduran, bahkan VOC runtuh pada tanggal 31 Desember 1799. Kemunduran VOC disebabkan hal-hal berikut.
a. Perang-perang yang dilakukan
membutuhkan biaya yang besar padahal hasil dari bumi Indonesia telah
terkuras habis dan kekayaan Indonesia sudah telanjur terkirim ke Negeri
Belanda. VOC tidak kuat lagi membiayai perang-perang tersebut.
b. Kekayaan menyebabkan para pegawai VOC
melupakan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab mereka terhadap pemerintah
dan masyarakat.
c. Terjadinya jual beli jabatan.
d. Tumbuhnya tuan-tuan tanah partikelir.
e. Kekurangan biaya tersebut tidak dapat
ditutup dengan hasil penjualan tanah saja, VOC harus juga mencari
pinjaman. Akibatnya, utang VOC semakin besar.
f. Pada akhir abad ke-18, VOC tidak
mampu lagi memerangi pedagang-pedagang Eropa lainnya (Inggris, Prancis,
Jerman) yang dengan leluasa berdagang di Nusantara sehingga monopoli VOC
hancur.
Keberadaan VOC sudah tidak dapat dipertahankan lagi
sehingga harta milik dan utang-utangnya diambil alih oleh pemerintah
negeri Belanda. Pemerintah kemudian membentuk Komisi Nederburg untuk mengurusinya, termasuk mengurusi wilayah VOC di
Indonesia (1800 – 1907).
2. MASA KEKUASAAN BELANDA
(PRANCIS)
Tahun 1807 – 1811, Indonesia dikuasai oleh Republik Bataaf
bentukan Napoleon Bonaparte, penguasa di Prancis (Belanda menjadi jajahan Prancis)
. Napoleon Bonaparte mengangkat Louis Napoleon menjadi
wali negeri Belanda dan negeri Belanda diganti namanya menjadi Konikrijk
Holland. Untuk mengurusi Indonesia, Napoleon mengangkatHerman Willem Daendels menjadi
gubernur jenderal di Indonesia (1808 – 1811). Tugas utama Daendels adalah
mempertahankan Jawa dari serangan Inggris sehingga pusat perhatian Daendels
ditujukan kepada pertahanan dan keamanan.
Untuk memperoleh dana, Daendels menjual
tanah-tanah kepada orang-orang swasta. Akibatnya, tanah-tanah partikelir mulai
bermunculan di sekitar Batavia, Bogor, Indramayu, Pamanukan, Besuki, dan
sebagainya. Bahkan, rumahnya sendiri di Bogor dijual kepada pemerintah, tetapi
rumah itu tetap ditempatinya sebagai rumah tinggalnya. Tindakan dan kekejaman
Daendels tersebut menyebabkan raja-raja Banten dan Mataram memusuhinya.
Untuk menutup utang-utang Belanda dan biaya-biaya
pembaharuan tersebut, Daendels kembali menjual tanah negara beserta isinya
kepada swasta, sehingga timbulah sistem tuan tanah di Jawa yang bertindak sebagai raja daerah, misalnya
di sekitar Batavia dan Probolinggo. Kekejaman Daendels tersebut terdengar
sampai ke Prancis. Akhirnya, dia dipanggil pulang karena dianggap memerintah
secara autokrasi dan Indonesia diperintah oleh Jansens.
3. MASA KEKUASAAN INGGRIS
Keberhasilan Inggris mengalahkan Prancis di Eropa
menyebabkan kekuasaan Belanda atas Indonesia bergeser ke tangan Inggris. Untuk
itulah ditandatangani Kapitulasi Tuntang (1811) yang
isinya Belanda menyerahkan Indonesia ke tangan
Inggris dari tangan Jansens kepada Thomas Stamford Raffles, seorang Letnan Gubernur Jenderal Inggris untuk
Indonesia. Oleh karena itu, beralihlah Indonesia dari tangan Belanda ke tangan
Inggris.
Adapun langkah-langkah yang diambil Raffles
adalah:
a. membagi Pulau Jawa menjadi 16
karesidenan,
b. para bupati dijadikan pegawai
negeri,
c. melaksanakan perdagangan bebas,
d.
melaksanakan land rente (pajak
sewa tanah) dan Raffles menjual tanah kepada swasta,
e. menghapuskan perbudakan, dan
f. kekuasaan para raja dikurangi. Di
Yogyakarta, Pangeran Notokusumo diangkat sebagai Paku Alam (1813). Akibatnya,
Mataram Yogyakarta pecah menjadi dua, yakni Kasultanan Yogyakarta di bawah HB
III dan Paku Alaman di bawah Paku Alam I.
Pada tanggal 13 Agustus 1814, di Eropa ditandatangani
Perjanjian London oleh Inggris dan Belanda yang isinya Belanda memperoleh
kembali sebagian besar daerahkoloninya, termasuk Indonesia. Oleh karena itu
pada tahun 1816, Raffles
meninggalkanIndonesia dan Belanda kembali berkuasa di Indonesia.
4. MASA KEKUASAAN PEMERINTAH
BELANDA
Pada tahun 1830,
pemerintah Belanda mengangkat gubernur jenderal yang baru untuk Indonesia,
yaitu Van den Bosch,yang diserahi tugas untuk meningkatkan produksi
tanaman ekspor, seperti tebu, teh, tembakau, merica, kopi, kapas, dan kayu
manis. Dalam hal ini, Van den Bosch mengusulkan adanya sistem tanam paksa. Adapun hal-hal yang mendorong Van den Bosch
melaksanakan tanam paksa, antara lain, Belanda membutuhkan banyak dana
untuk membiayai peperangan,
baik di negeri Belanda sendiri maupun di Indonesia. Akibatnya, kas negara
Belanda kosong. Sementara itu, di Eropa terjadi perang Belanda melawan Belgia
(1830 – 1839) yang juga menelan banyak biaya.
Tujuan diadakannya tanam paksa adalah
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, guna menutupi kekosongan
kas negara dan untuk membayar utang utang negara.
Pelaksanaan tanam paksa diselewengkan
oleh Belanda dan para petugasnya yang berakibat membawa kesengsaraan rakyat
Bentuk penyelewengan tersebut misalnya, kerja tanpa dibayar untuk kepentingan
Belanda (kerja rodi) kekejaman para mandor terhadap para penduduk, dan
eksploitasi kekayaan Indonesia yang dilakukan Belanda.
Melihat penderitaan rakyat Indonesia, kaum humanis Belanda menuntut
agar tanam paksa dihapuskan. Tanam paksa mengharuskan rakyat bekerja berat
selama musim tanam. Penderitaan rakyat bertambah berat dengan adanya kerja rodi
membangun jalan raya, jembatan, dan waduk. Selain itu, rakyat masih dibebani
pajak yang berat, sehingga sebagian besar penghasilan rakyat habis untuk
membayar pajak.
Sementara itu di pihak Belanda, tanam paksa membawa keuntungan yang besar. Praktik tanam paksa mampu menutup kas negara
Belanda yang kosong sekaligus membayar utang-utang akibat banyak perang.
Akhirnya, tanam paksa dihapuskan, diawali dengan dikeluarkannya undang-undang (Regrering Reglement) pada tahun 1854 tentang penghapusan perbudakan. Tanam paksa benar-benar dihapuskan pada tahun 1917.
Sebagai bukti, kewajiban tanam kopi di Priangan, Manado, Tapanuli, dan Sumatra
Barat dihapuskan.
Setelah tanam paksa dihapuskan, pemerintah Belanda
melaksanakan politik kolonial liberal di
Indonesia dengan memberikan kebebasan pada pengusaha swasta untuk menanamkan modaldi Indonesia. Namun, pelaksanaannya tetap
menyengsarakan rakyat karena kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan semata-mata
untuk kepentingan kolonial Belanda. Belanda tetap melaksanakan cara-cara
menguasai bangsa Indonesia dengan perjanjian, perang, dan pemecah belah.
Pelaksanaan politik kolonial liberal
ternyata banyak mendatangkan penderitaan bagi rakyat terutama buruh sebab upah
yang mereka terima tidak seperti yang tertera dalam kontrak. Akibatnya, banyak
buruh yang melarikan diri, terutama dari Deli, Sumatra Utara. Dari kenyataan di
atas jelas Belanda tetap masih melaksanakan usaha menindas bangsa Indonesia.
D. PERLAWANAN RAKYAT DI BERBAGAI
DAERAH DALAM MENENTANG KOLONIALISME
1. Perlawanan Rakyat Maluku di Bawah Ahmad
Matullesi (1817)
Sejak abad ke-17 perlawanan rakyat Maluku terhadap
Kompeni sudah terjadi, namun perlawanan yang dahsyat baru muncul pada
permulaan abad ke-19, di bawah pimpinan Ahmad Matulessi (lebih dikenal dengan nama Pattimura).
Latar belakang timbulnya perlawanan
Pattimura, di samping adanya tekanan-tekanan yang berat di bidang ekonomi sejak
kekuasaan VOC juga dikarenakan hal sebagai berikut.
a. adanya tindakan-tindakan pemerintah
Belanda yang memperberat kehidupan rakyat, seperti system penyerahan secara
paksa, kewajiban kerja blandong, penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan
asin, dendeng dan kopi. Selain itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan
rakyat Maluku tidak dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari karena
belum terbiasa.
b. adanya pemecatan guru-guru
sekolah akibat pengurangan sekolah dan gereja, serta pengiriman orang-orang
Maluku untuk dinas militer ke Batavia.
Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan penindasan
pemerintah Belanda terhadap rakyat Maluku. Oleh karena itu, rakyat Maluku
bangkit dan berjuang melawan imperialisme Belanda. Aksi perlawanan meletus pada
tanggal 15 Mei 1817 dengan
menyerang Benteng Duurstede di
Saparua. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng Duurstede jatuh
ke tangan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura. Banyak korban di pihak
Belanda termasuk Residen Belanda, Van den Berg ikut terbunuh dalam pertempuran.
Kemenangan atas pemerintah kolonial Belanda
memperbesar semangat perlawanan rakyat sehingga perlawanan meluas ke Ambon,
Seram dan pulau-pulau lain. Di Hitu perlawanan rakyat muncul pada permulaan
bulan Juni 1817 di
bawah pimpinan Ulupaha.
Rakyat Haruku di bawah pimpinan Kapten Lucas Selano, Aron dan Patti Saba. Situasi pertempuran berbalik setelah datangnya bala
bantuan dari Batavia di bawah pimpinan Buyskes. Pasukan Belanda terus mengadakan
penggempuran dan berhasil menguasai kembali daerah-daerah Maluku. Perlawanan
semakin mereda setelah banyak para pemimpin tertawan, seperti Thomas Matulessi
(Pattimura), Anthonie Rhebok, Thomas Pattiweal, Lucas Latumahina, dan Johanes
Matulessi. Dalam perlawanan ini juga muncul tokoh wanita yakni Christina Martha
Tiahahu. Sebagai pahlawan rakyat yang tertindas oleh penjajah. Tepat pada
tanggal 16 Desember 1817, Thomas Matulessi dan kawan-kawan seperjuangannya
menjalani hukuman mati di tiang gantungan.
2. Perlawanan Kaum Paderi (1821–1838 )
Perang Paderi melawan Belanda berlangsung 1821–1838, tetapi gerakan Paderi sendiri sudah ada sejak awal
abad ke-19. Di lihat dari sasarannya, gerakan Paderi dapat dibagi menjadi dua
periode.
a. Periode 1803–1821 adalah
masa perangPaderi melawan Adat dengan corak keagamaan.
b. Periode 1821–1838 adalah masa perangPaderi melawan Belanda dengan corak keagamaan dan patriotisme.
Sejak tahun 1821 saat kembalinya tiga
orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang,
gerakan Paderi melawan kaum Adat dimulai. Kaum Paderi berkeinginan memperbaiki
masyarakat Minangkabau dengan mengembalikan kehidupannya yang sesuai dengan
ajaran Islam yang sebenarnya. Padahal kaum Adat justru ingin melestarikan adat
istiadat warisan leluhur mereka.
Adat yang selama itu dianut dan yang
menjadi sasaran gerakan Paderi adalah kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti
menyabung ayam, berjudi, madat, dan minum-minuman keras. Terjadilan perbenturan
antara kaum Adat dengan kaum Paderi. Kaum Adat yang merasa terdesak, kemudian
minta bantuan kepada pihak ketiga, yang semula Inggris kemudian digantikan oleh
Belanda (berdasarkan Konvensi London).
Perang Paderi melawan Belanda meletus
ketika Belanda mengerahkan pasukannya menduduki Semawang pada tanggal 18
Februari 1821. Masa Perang Paderi melawan Belanda dapat dibagi menjadi tiga periode.
a. Periode 1821–1825, ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh
daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi menggempur
pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan tempat-tempat
lain. Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Tuanku
Pasaman kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau. Sebaliknya, Belanda yang
telah berhasil menguasai Lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng
pertahanan di Batusangkar (Fort Van den Capellen).
b. Periode 1825–1830, ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Paderi
perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda baru memusatkan perhatiannya
menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa.
c. Periode 1830–1838, ditandai dengan perlawanan di kedua belah yang makin
menghebat. Pemimpin di pihak Belanda, antara lain Letkol A.F. Raaff, Kolonel de
Stuer, Mac. Gillavry dan Elout, sedangkan di pihak Paderi ialah Tuanku Imam
Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku nan Gapuk, Tuanku Hitam, Tuanku Nan Cerdik
dan Tuanku Tambusi.
Pada tahun 1833, Belanda mengeluarkan Pelakat Panjang yang isinya, antara lain sebagai berikut.
1.
Penduduk
dibebaskan dari pembayaran pajak yang berat dan kerja rodi.
2.
Belanda
akan bertindak sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar penduduk.
3.
Penduduk
boleh mengatur pemerintahan sendiri.
4.
Hubungan
dagang hanya diperbolehkan dengan Belanda.
Belanda menjalankan siasat pengepungan mulai
masuk tahun 1837 terhadap Benteng Bonjol. Akhirnya, Benteng Bonjol berhasil
dilumpuhkan oleh Belanda. Selanjutnya, Belanda mengajak berunding kaum Paderi
yang berujung pada penangkapan
Tuanku Imam Bonjol (25 Oktober 1837).
Setelah ditahan, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, dipindahkan ke Ambon
(1839), dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga wafat tanggal 6 November
1864.Perlawanan kaum Paderi kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Tambusi. Setelah
Imam Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda.
Itu berarti seluruh perlawanan dari kaum Paderi berhasil dipatahkan oleh
Belanda.
3. Perlawanan Pangeran Diponegoro
(1825–1830)
Pengaruh Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin
bertambah kuat pada permulaan abad ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur
tangan Belanda telah menimbulkan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang
kemudian menimbulkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara
lain sebagai berikut:
a. Adanya kekecewaan dan kebencian
kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang makin intensif mencampuri urusan
keraton melalui Patih Danurejo (kaki tangan Belanda).
b. Adanya kebencian rakyat pada umumnya
dan para petani khususnya akibat tekanan pajak yang sangat memberatkan.
c. Adanya kekecewaan di kalangan para
bangsawan, karena hak-haknya banyak yang dikurangi.
d. Sebagai sebab khususnya ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda melewati
makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Pertempuran perrtama meletus pada tanggal 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah pertempuran di Tegalrejo, Pangeran
Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke Dekso. Di daerah Plered, pasukan
Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan yang memiliki kemampuan yang cukup
kuat. Kabar mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke berbagai
daerah. Dengan dikumandangkannya perang sabil, di Surakarta oleh Kiai Mojo, di
Kedu oleh Kiai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain maka pada
pertempuran-pertempuran tahun 1825–1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan
terdesak.
Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda
menggunakan usaha dan tipu daya untuk mematahkan perlawanan, antara lain
sebagai berikut;
a. Siasat benteng stelsel,
yang dilakukan oleh Jenderal
de Kock mulai tahun 1827.
b. Siasat bujukan agar perlawanan
menjadi reda.
c. Siasat pemberian hadiah sebesar
20.000,- ringgit kepada siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro.
d. Siasat tipu muslihat, yaitu ajakan
berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.
Dengan berbagai tipu daya, akhirnya satu
per satu pemimpin perlawanan tertangkap dan menyerah, antara lain Pangeran
Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap 19 Januari 1827), Pangeran
Serang, dan Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827, Pangeran Mangkubumi (menyerah 27
September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah tanggal 24
Oktober 1829). Kesemuanya itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran
Diponegoro.
Melihat situasi yang demikian, pihak
Belanda ingin menyelesaikan perangsecara cepat. Jenderal de Kock melakukan tipu
muslihat dengan mengajak berunding Pangeran Diponegoro. De Kock berjanji
apabila
perundingan gagal maka Diponegoro diperbolehkan
kembali ke pertahanan. Atas dasar janji tersebut, Diponegoro mau
berunding di rumah Residen Kedu, Magelang pada tanggal 28
Maret 1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga Pangeran
Diponegoro ditangkap ketika perundingan mengalami kegagalan. Pangeran
Diponegoro kemudian di bawa ke Batavia, dipindahkan ke Menado, dan pada tahun
1834 dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855.
4. Perlawanan di Kalimantan Selatan
(1859–1905)
Di Kalimantan Selatan, Belanda telah lama melakukan
campur tangan dalam urusan Istana Banjar. Puncak kebencian terhadap Belanda dan
akhirnya meletus menjadi perlawanan, ketika terjadi kericuan pergantian takhta
Kerajaan Banjar setelah wafatnya Sultan Adam tahun 1857. Dalam hal ini Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar.
Rakyat tidak mau menerima sebab Pangeran Hidayat yang lebih berhak dan lebih disenangi rakyat.
Pertempuran rakyat Banjar melawan Belanda berkobar pada tahun 1859 di bawah
pimpinan Pangeran Antasari. Dalam pertempuran ini Pangeran Hidayat berada
di pihak rakyat. Tokoh-tokoh lain dalam pertempuran ini, antara lain Kiai
Demang Leman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, Tumenggung Suropati, dan Kiai
Langlang. Pasukan Antasari menyerbu pos-pos Belanda yang ada di Martapura dan
Pangron pada akhir April 1859. Di bawah pimpinan Kiai Demang Leman dan Haji
Buyasin pada bulan Agustus 1859 pasukan Banjar berhasil merebut benteng Belanda
di Tabanio. Ketika pertempuran sedang berlangsung, Belanda memecat Pangeran
Hidayat sebagai mangkubumi karena menolak untuk menghentikan perlawanan.
Pada tanggal 11 Juni 1860 jabatan sultan
kosong (karena Sultan Tamjidillah diturunkan dari takhtanya oleh pihak Belanda,
Andresen) dan jabatan mang-kubumi dihapuskan. Dengan demikian, Kerajaan Banjar
dihapuskan dan dimasukkan dalam wilayah kekuasaan Belanda. Pertempuran terus
meluas ke berbagai daerah, seperti Tanah Laut, Barito, Hulu Sungai Kapuas,
dan Kahayan. Dalam menghadapi serangan-serangan ini, Belanda mengalami
kesulitan, namun setelah mendapatkan bantuan dari luar akhirnya Belanda
berhasil mematahkan perlawanan rakyat. Pada tanggal 3 Februari 1862, Pangeran
Hidayat tertangkap dan dibuang ke Jawa. Pangeran Antasari yang pada tanggal 14
Maret 1862 diangkat oleh rakyat sebagai pemimpin tertinggi agama Islam dengan
gelar Panembahan Amiruddin Khalifahtul Mukminin gugur dalam pertempuran di Hulu
Teweh pada tanggal 11 Oktober 1862. Sepeninggal Pangeran Antasari, perjuangan
rakyat Banjar dilanjutkan oleh teman-teman seperjuangan. Perlawanan rakyat
benar-benar dapat dikatakan padam setelah gugurnya Gusti Matseman tahun 1905.
5. Perlawanan di Bali (1846–1905)
Di Bali timbulnya perlawanan rakyat melawan Belanda,
setelah Belanda berulang kali memaksakan kehendaknya untuk menghapuskan hak tawan karang. Hak tawan karang yaknihak bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk
merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaan kerajaan yang
bersangkutan. Telah berulang kali kapal Belanda
hendak dirampas, namun Belanda memprotes dan mengadakan perjanjian sehingga
terbebas. Raja-raja Bali yang pernah diajak berunding ialah Raja Klungklung dan
Raja Badung (1841); Raja Buleleng dan Raja Karangasem (1843). Akan
tetapi, kesemuanya tidak diindahkan sehingga Belanda memutuskan untuk
menggunakan kekerasan dalam usaha menundukkan Bali.
Dalam menghadapi perlawanan rakyat Bali,
pihak Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi militer secara besar-besaran
sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama (1846) dengan kekuatan 1.700 orang
pasukan dan gagal dalam usaha menundukkan rakyat Bali. Ekspedisi kedua (1848)
dengan kekuatan yang lebih besar dari yang pertama dan disambut dengan
perlawanan oleh I Gusti Ktut Jelentik, yang telah mempersiapkan pasukannya di
Benteng Jagaraga sehingga dikenal dengan Perang Jagaraga I. Ekspedisi
Belanda ini pun juga berhasil digagalkan.
Kekalahan ekspedisi Belanda baik yang pertama maupun
yang kedua, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi ketiga
(1849) dengan kekuatan yang lebih besar lagi yakni 4.177 orang pasukan,
kemudian menimbulkan Perang Jagaraga II. Perang berlangsung selama dua hari dua malam
(tanggal 15 dan 16 April 1849) dan menunjukkan semangat perjuangan rakyat Bali
yang heroik dalam mengusir penjajahan Belanda. Dalam pertempuran ini, pihak
Belanda mengerahkan pasukan darat dan laut yang terbagi dalam tiga
kolone. Kolone 1 di bawah pimpinan Van Swieten; kolone 2 dipercayakan
kepada La Bron de Vexela, dan kolone 3 dipimpin oleh Poland. Setelah terjadi
pertempuran sengit, akhirnya Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Prajurit
Bali dan para pemimpin mereka termasuk I Gusti Jelantik, berhasil meloloskan
diri.
Perlawanan rakyat Bali tidaklah padam.
Pada tahun 1858, I Nyoman Gempol mengangkat senjata melawan Belanda, namun
berhasil dipukul mundur. Selanjutnya, tahun 1868 terjadi lagi perlawanan di
bawah pimpinan Ida Made Rai, ini pun juga mengalami kegagalan. Perlawanan masih
terus berlanjut dan baru pada awal abad ke-20 (1905), seluruh Bali berada di
bawah kekuasaan Belanda.